Tidak perlu digarisbawahi lagi, kita semua sudah mendengar betapa Covid-19 di tanah air melonjak sedemikian tingginya sebulan terakhir ini. Beberapa media massa membuat headline “Indonesia Darurat Corona”, dan menjejali ruang berita dengan kabar mengenai RS yang penuh, kelangkaan oksigen, tingkat kematian anak tertinggi, hingga mengganasnya klaster keluarga.
Juni Bersejarah!
Corona Meledak Siapa Salah?
Juni 2021 menjadi bulan bersejarah, dengan catatan rekor kasus harian tertinggi sepanjang pandemi di Indonesia, sebanyak 21 ribu lebih kasus baru pada hari ini, 26 Juni 2021. Jumlah kasus total pun menembus batas angka dua juta. Banyak orang mengaitkan lonjakan kasus Juni merupakan imbas dari liburan dan mudik Lebaran 2021. Apalagi beberapa pakar memang sudah memprediksi bahwa hal ini akan terjadi. Celakanya, para pakar juga memperingatkan bahwa angka itu masih mungkin akan naik lagi.
Coba ingat-ingat kembali, bukankah bulan lalu pemerintah melarang mudik? Bukankah bulan lalu jumlah hari libur cuti bersama juga sudah dikurangi?
Kok seperti tidak ada efeknya?
Faktanya setelah Lebaran itu, ramalan pun terbukti. Lonjakan drastis terjadi. Belajar dari fakta pahit ini, pemerintah kemudian merevisi lagi keputusan hari libur tahun 2021 untuk kedua kalinya. Dua hari libur nasional digeser, dan cuti bersama setengah tahun ke depan ditiadakan.
Berarti lonjakan Covid ini salah Lebaran? Atau salah mudik? Atau salah hari libur? Salah pemerintah karena masih berbaik hati memberi hari libur? Salah warga kota yang mudik ke kampung halaman melepas rindu dengan sanak keluarga? Salah pak polisi yang kurang ketat menutup lalu lintas?
Wallahualam

(grafik: kcov.id/data-nasional, sumber data: bnpb-inacovid19.hub.arcgis.com, dibuat oleh: Rhesa Austen, diakses 26 Juni 2021, 19.28 WIB)
Euforia Vaksin Superman
Sebagian besar dari kita tentu sudah paham betul bahwa salah satu cara mengakhiri pandemi adalah dengan vaksinasi. Memang masih ada kelompok tertentu yang menentang vaksin, dengan berbagai macam alasan. Namun program vaksinasi di Indonesia berjalan cukup baik. Bulan ini vaksinasi telah mulai menyasar masyarakat umum dewasa.
Ada suatu fenomena culun tentang vaksinasi ini.
Tidak sedikit orang yang baru mendapatkan suntikan vaksin pertama, tak lama kemudian langsung pergi jalan-jalan, ikut kondangan, dan membanggakan bahwa dirinya telah divaksin. Sertifikat vaksin pun dijadikan tiket bebas berkeliaran. Padahal itu baru vaksin pertama, imun tubuh belum terbentuk sempurna, sehingga masih sangat-sangat bisa terinfeksi. Mengutip dr. Adrian Suhendra, Sp.Pk., M.Kes., antibodi umumnya baru terbentuk sekitar dua minggu setelah menerima vaksin, dan untuk memastikannya dapat dilakukan tes antibodi dalam waktu tiga hingga empat minggu setelah divaksin.
Sebagian masyarakat yang lain, setelah mendapatkan vaksin menjadi agak kendor prokesnya. Mulai sering membuka masker, bahkan memakai tali masker agar lebih mudah melepas-pasang maskernya, dan mulai berani berinteraksi dengan orang-orang dalam jarak dekat.
Bisa dimaklumi, mungkin sudah setahun menahan diri, sehingga ketika merasa lebih kebal, prokes pun bobol. Seorang pakar dalam sebuah talkshow di salah satu TV nasional mengibaratkan ada orang-orang yang merasa layaknya Superman atau Iron Man setelah divaksin. Culun, tapi euforia vaksin seperti ini banyak terjadi.
Mungkin salah satu efek samping KIPI yang kurang mendapat perhatian.
Tertampar Klaster Keluarga
Merebaknya klaster keluarga beberapa minggu terakhir menjadi tamparan keras bagi sebagian besar masyarakat yang selama ini merasa bahwa rumah adalah tempat perlindungan yang sangat aman.
Bukannya #dirumahaja berarti rumah adalah tempat yang paling aman?
Betul sekali, bila prokesnya ketat. Namun bila prokes kendor, rumah bisa jadi sumber penularan. Lupa tidak mencuci tangan sebelum membuka pintu masuk ke rumah, atau secara spontan dihampiri si kecil yang sudah menanti ayah pulang kerja, risikonya sangat besar bagi seisi rumah.
Fakta di lapangan, banyak kita jumpai orang-orang masih nongkrong di warung dekat rumah, bercengkerama tanpa memakai masker. Tetangga masih pada ngerumpi di depan pagar, pakai masker tetapi di dagu. Saat kembali ke dalam rumah, tidak lagi mencuci tangan, mandi, keramas, dan ganti baju, karena merasa “hanya keluar sebentar ke depan.”
Faktanya masih banyak orang merasa bahwa lingkungan sekitarnya aman, karena sudah saling kenal. Begitu pula yang merebak sebelumnya dengan sebutan klaster perkantoran dan klaster pabrik. Orang-orang di kantor atau pabrik merasa sudah saling mengenal, apalagi sudah “ditembak” suhu, sudah melakukan prosedur-prosedur formalitas lainnya, tetapi sebetulnya tidak benar-benar ketat melaksanakan prokes di wilayah personalnya. Ini adalah titik lemah yang amat rentan.
Ayah Bunda, Jangan Lakukan Ini
Ada sebuah keluarga yang terkonfirmasi positif, dan keheranan terpapar dari mana. Ketika ditanya, sang ayah menjawab, “Kita patuh prokes kok, ngga pernah ke mana-mana, paling hanya badminton saja di lapangan sebelah.” Alamak! Paham kan maksudnya? Masih banyak orang yang tidak sadar betul bahwa “hanya main badminton di lapangan sebelah” pun sudah membuka pintu terpapar Corona.
Hal simpel seperti itulah salah satu yang membuat klaster keluarga merebak.
Risiko saat ini menjadi semakin besar dengan adanya varian-varian baru yang lebih ganas. Varian Delta terbukti mampu menular hanya dengan berpapasan sebentar saja!

Mengetahui semua itu, bila Corona bisa tertawa, ia akan tertawa-tawa melihat tingkah manusia. Yang satu menyalahkan yang lain. Yang satu berpikir keras sampai mumet, yang satunya lagi keheranan dan mempertanyakan. Yang satu ketakutan, yang lain kebingungan. Yang satu menuduh-nuduh konspirasi, satunya lagi berduka kehilangan kerabat dan keluarga.
Akankah kita biarkan Corona tertawa?
(is)
ilustrasi oleh Melisa Apriliani pada majalah M! edisi 12
Sangat bermanfaat. Terima kasih.
Bolehkah saya membagikan dan mengutip di blog tulisan saya? Terima kasih banyak sebelumnya.
Silakan bila bermanfaat. Semoga kita sama-sama sadar dan bisa saling mengingatkan, berjuang bersama menghadapi situasi ini. Stay safe stay healthy.